Hal itu, kata Radit, membuat masyarakat Indonesia lebih berpihak kepada Rusia. Masyarakat menganggap siapapun yang berseberangan dengan Amerika maka dia lah yang harus dibela.
“Kalau begitu narasi jadi mudah sekali dibuat, ‘oh ini anti-Barat jadi kita harus dukung Rusia’. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, di banyak negara China, India, di Malaysia juga berpandangan seperti itu,” kata Mahasiswa Doktoral University of Tartu, Estonia, ini.
Baca Juga:
Siap-siap, Trayek Angkot di Depok Mau Ditambah
Radit mengatakan, masyarakat Indonesia tak bisa memandang dengan jernih bahwa konflik yang terjadi hari ini adalah antara Rusia dan Ukraina. Bukan Amerika dan negara-negara anggota NATO.
“Masyarakat ketika bicara soal Rusia dan Ukraina itu bukan melihat ini perang antara Rusia dan Ukriana. Tapi melihatnya justru seakan antara Rusia dan Barat,”
Sosok Vladimir Putin
Baca Juga:
Pebalap Depok Bikin Merah Mutih Berkibar di Mandalika
Variabel berikutnya adalah masyarakat Indonesia yang lebih menyukai sosok pemimpin kuat dan tegas. Presiden Rusia Vladimir Putin dinilai sebagai sebagai tokoh yang kuat, tegas, gagah, dan nasionalis.
“Soal sosok Putin, kita [masyarakat Indonesia] itu senang dengan yang gagah, yang tegas. Jadi maunya pemimpin nasionalis,”
Masyarakat, menurut Radit, cenderung menyamakan sosok Putin dengan Presiden Pertama RI Soekarno yang sama-sama tegas, serta tokoh militer Prabowo Subianto.