DEPOK.WAHANANEWS.CO - Rencana SMAN 6 Depok study tour ke Bali belakangan menuai polemik.
Gubernur Jawa Barat terpilih Dedi Mulyadi sudah melarang kegiatan tersebut.
Baca Juga:
Wisatawan 'Receh' Ganggu Citra Pariwisata Bali, Pemilik Warung: Mereka Ganggu Pengunjung Lain
Namun kini Komite SMAN 6 Depok justru balik melayangkan protes.
Diketahui, study tour ke Bali tersebut mewajibkan siswa membayar Rp3,5 juta.
Dedi Mulyadi berpendapat bila ditambah uang jajan, maka siswa harus membawa uang sekitar Rp5,5 juta.
Baca Juga:
Kupang Bersiap, Cristiano Ronaldo Akan Mendarat di NTT untuk Misi Sosial
SMAN 6 Depok pun beralasan pergi study tour ke Bali untuk belajar PPKN.
Mereka beralasan, study tour bukan hanya sekadar jalan-jalan, tapi juga belajar PPKN.
Dedi Mulyadi lantas menyoroti alasan SMAN 6 Depok berkukuh menggelar study tour ke Bali.
Ia bereaksi atas semua alasan SMAN 6 Depok yang memaksa pergi study tour ke Bali.
"Kemudian study tour itu masuk dalam kurikulum sekolah yaitu pelajaran PPKN," ucap Dedi Mulyadi, dikutip Selasa (18/2/2025).
Dedi Mulyadi pun memberi sindiran pada komite sekolah.
"Komite sekolah sangat peduli untuk mendapat pelajaran yang berharga dari pergi ke Bali, terutama di bidang PPKN. Keren banget," ujarnya.
Ia tak menyangka, komite sekolah justru menganggap nominal tersebut tak seberapa.
Padahal ia menyebut, sebagian orang tua ada yang protes dengan biaya keberangkatan.
"Yang lain orang tuanya protes karena kemahalan, ini protes karena dianggap biaya sekian itu tidak terlalu mahal."
"Ini tentu menunjukan kelas ekonomi di kelas tersebut sangat mapan orang tua siswanya," tutur Dedi.
Ia menekankan bahwa belajar PPKN tak perlu sampai jauh pergi ke Bali.
"PPKN tidak mesti pergi ke Bali, bisa di lingkungan kita."
"Membantu orang tua membereskan rumah itu PPKN, berkunjung ke rumah tangga siapa tahu tidak punya beras itu juga PPKN."
"Study tentang lingkungan sejarah kebudayaan Depok itu luar biasa," katanya.
Dedi menyarankan bila komite ngotot ingin pergi ke Bali, tidak membawa nama sekolah.
"Apabila orang tuanya ingin anaknya piknik, tidak ada masalah itu hak setiap orang."
"Tetapi lebih baik selenggarakan oleh orang tua anak-anaknya didampingi ke Bali."
"Jangan bawa nama sekolah, cukup orang tuanya," papar Dedi.
Termasuk dengan guru yang ingin ikut harus pula membayar menggunakan uang pribadi.
"Gurunya boleh pergi dengan biaya sendiri."
"Kalau guru ke Bali kemudian mendapat transport dari orang tua apalagi ASN, ya itu tidak boleh menurut Undang-undang," tegas Dedi.
Sementara itu, Ketua Komite SMAN 6 Depok, Eko Pujianto mengatakan, study tour masuk dalam kurikulum pelajaran.
"Tolong jangan asal komentar, karena yang rugi reputasi sekolah ini. Saya berani ngomong seperti ini karena kami di komite bekerja ikhlas lillahi taala," kata Eko.
Apalagi, kata dia, pihak orang tua siswa juga melakukan subsidi bagi siswa yang kurang mampu.
Sebelumnya, Dedi sudah meminta pihak sekolah untuk membatalkan kegiatan study tour tersebut.
Dedi sendiri mengunggah pernyataannya di akun TikTok @dedimulyadiofficial, Sabtu (15/2/2025).
"Ada orang tua yang keberatan terhadap kegiatan study tour di SMAN 6 Depok (ke Bali) dengan biaya Rp3,5 juta," ujar Dedi.
"Kalau ditambah uang saku dan lain-lain bisa Rp4,5 - 5,5 juta," imbuhnya.
Padahal sebelumnya, Dedi sudah mengimbau kepada sekolah se-Jawa Barat untuk tidak melakukan study tour, bahkan menjual seragam sekolah sekalipun.
Nantinya, setelah dilantik pada 20 Februari 2025, Dedi akan membuat keputusan tertulis.
"Memang saya belum dilantik, saya hanya bersifat imbauan, belum bisa jadi keputusan tertulis," jelasnya.
Dedi menjelaskan, study tour sesungguhnya merupakan sebuah orientasi berpikir yang bisa digunakan untuk dunia pendidikan.
Yakni untuk mengarahkan anak-anak melakukan pengkajian dan penelitian pada sebuah tempat yang dikunjungi.
Jika sekolah mau fokus pada kalimat study tour, menurut Dedi. sebenarnya bisa dilakukan tanpa harus ke luar kota.
"Sampah di Depok menjadi masalah besar, itu bisa jadi rangkaian study," tutur dia.
"Di mana anak-anak jurusan IPA bisa menggunakan metodologi bakteri sebagai pengurai sampah," paparnya.
Sekolah, kata Dedi, bisa menggerakkan siswanya untuk melakukan penelitian.
Berstudi ke setiap rumah untuk mengajarkan bagaimana cara mengurai sampah, memilah mana organik dan anorganik sehingga tidak jadi masalah.
Selain itu, siswa juga bisa diajak study tour ke industri yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
"Misal memperlajari percepatan proses produksi, bagaiamana menggunakan robot sebagai kekuatan teknologi hari ini."
"Bagaimana proses produksi membuat minyak goreng, membuat motor, tekstil, dan industri lainnya," beber dia lagi.
Hal-hal sederhana dan dekat ini, menurut Dedi, bisa dijadikan bahan study dan kajian para siswa.
"Tapi kalau pergi ke Bali, itu namanya wisata, piknik."
"Boleh banget dan itu hak setiap orang, tapi tidak dilembagakan pada kebijakan di sebuah lembaga formal," ungkapnya.
Kini yang menjadi masalah, kata Dedi, dengan alasan study tour, banyak anak-anak kurang mampu yang merasa minder.
"Orang tuanya yang tidak mampu berusaha memenuhi keinginan anaknya karena marah di rumah," kata dia.
Dedi pun menyarankan kepada pihak sekolah untuk membatalkan rencana tersebut.
"Untuk itu saya meminta kepada Kepala SMAN 6 Depok, tunda ya. Enggak usah deh study tour-nya, gunakan uangnya untuk yang lain," pintanya.
Namun jika orang tua siswa mampu untuk membiayai piknik, maka silakan saja.
"Silakan piknik bersama keluarganya," kata Dedi lagi.
Ia juga mencontohkan agenda piknik yang dibalut acara study banding di pemerintahan.
Dedi meminta pegawai kantor pemerintahan untuk tidak melakukan agenda piknik dengan menumpang ke kegiatan pemerintah.
"Sama dengan di kantor pemerintah, kalau mau piknik ke Jogja, Bali, silakan aja, pergi sama keluarga, tapi jangan numpang di kegiatan pemerintah jadi study banding, ke Bali, Jogja, apalagi ke luar negeri," jelasnya.
"Mau pergi ke manapun silakan, tapi pakai uang sendiri, jangan berkamuflase study banding," tegas Dedi.
[Redaktur: Mega Puspita]